Jumat, 15 Mei 2015

FENOMENA RETORIKA



FENOMENA RETORIKA

A.                Pengertian Fenomena Retorika
Dinamakan fenomena retorika karena merupakan permasalahan yang timbul sebagai suatu gejala dari kegiatan bertutur dari suatu tradisi/budaya yang berbeda. Fenomena retorika adalah fenomena tutur yang berbeda-beda yang tidak lain daripada perwujudan usaha dan tindak penutur dalam rangka mempengaruhi penanggap tuturnya.
Prof. Leslie White dalam karangannya yang berjudul “Symbol the basis of Languange and Culture”, membantah teori Evolusi Darwin. Guru besar antropologi berkebangsaan Amerika ini dengan berbagai ulasan dan teori  meyakinkan orang bahwa kegiatan bertutur manusialah yang meyakinkan peradapan dan kebudayaan. Tanpa kemampuan bertutur, tanpa kegiatan bertutur, manusia tidak akan memiliki peradapan dan kebudayaan itu. Demikian yakinnya Prof. Lesli White dengan pandangannya, sampai-sampai dia berani menentang sebagai berikut: “Remove speech from culture and what whol remain. Let us see” (Walter Goldschmindt).
            Jadi, kegiatan bertutur pada dasarnya adalah kegiatan membahasakan sesuatu bagian integral dari kehidupan bermasyarakat serta alat-alat yang fungsional dalam kehidupan tersebut. Dalam keseluruhan kegiatan bertutur itu orang selalu terlibat dengan masalah-masalah retorika yang mempengaruhi pihak lain (penanggap tutur).

B.                 Fenomena Retorika dalam Budaya
Fenomena retorika dalam budaya adalah permasalahan tutur dalam budaya yang berbeda-beda, yang tidak lain daripada perwujudan usaha dan tindak penutur dalam rangka mempengaruhi tutur. Fenomena retorika dalam berbagai bidang, antara lain sebagai berikut:
1.                  Retorika dalam Pendidikan
            Pendidikan adalah bimbingan sistematis yang membantu anak didik mengembangkan dirinya dalam memperoleh pengetahuan serta keterampilan yang berguna bagi kehidupan dan kemanusiaan pada umumnya. Dengan pengertian serupa itu pendidik tak ubahnya sebagai seorang pengasuh.
            Pendidikan hanya memberikan bimbingan agar potensi-potensi yang dimiliki anak bisa berkembang secara wajar. Supaya pendidikan ini dapat berlangsung dnegan baik maka pendidikan perlu merencanakan materi pendidikan, cara pelaksanaannya atau penyajiannya, mempersiapkan sarana-sarana pembantunya. Untuk itulah para pendidik banyak sekali terlibat dalam usaha retorika.
            Donald C. Bryant mengatakan bahwa pemanfaatan retorika secara terarah tampak lebih menonjol lagi pada proses pengajaran di dalam kelas. Dalam proses ini guru menerapkan prinsip-prinsip pendidikan yang telah dipelajari sebelumnya. Bersama dengan itu, dimanfaatkan pula retorika berdasarkan jenis bahan pelajaran yang disajikan, kondisi anak didik yang dihadapi, situasi sekolah tempat mengajar, keadaan ekonomi, politik sosial yang sedang berlangsung, dan lainnya sebagainya. Seorang guru misalnya, menggunakan corak bahasa yang sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa anak yang dihadapi, usaha tindak tutur yang lain ditampilkan guru untuk meyakinkan anak didik. Maka pada dasarnya usaha ini tidak lain penerapan retorika. Jadi, keseluruhan proses pengajaran di dalam kelas adalah proses retorika.
            Jika retorika tidak dimanfaatkan dalam proses pendidikan tentulah pengajaran sangat membosankan anak didik, sehingga perhatiannya tidak lagi tercurah pada bahan-bahan yang diajarkan. Dengan demikian sukar kita bayangkan pendidikan itu akan memberikan hasil yang diharakan. Karena itulh guru-guru yang cakap memanfaatkan retorika dalam tugasnya, disatu pihak akan disenangi oleh murid-muridnya sedangkan di pihak lain mereka berhasil sebagai pendidik.

2.                  Retorika dalam Usaha/Perdagangan
            Retorika juga dimanfaatkan secara terencana oleh sementara usahawan (pengusaha barang-barang dagangan/dalam menjajaki barang-barang produksinya). Salah satu sarana yang ditopangnya dengan retorika adalah  adpertens (iklan dan reklame). Keterangan yang mendetail tentang adpertensi itu dikemukakan dengan baik sekali oleh Vance Packard dengan bukunya yang berjudul “Hiden Persuaders” (New York, 1957). Di dalam buku ini Packard mengatakan hal-hal para penyusun adpertensi umumnya memanfaatkan hal-hal yang menjadi harapannya.
            Selain adpertensi, belakangan ini TV juga telah dimanfaatkan dengan baik oleh usahawan, jika adpertensi mengandalkan keakuratannya pada “permainan” bahasa, maka TV melengkapi kekuatan bahasa ini dengan peragaan dan tata suara, sehingga daya persuasinya pu  lebih kuat.
            Dalam penawaran barang dagangan kepada para konsumen/pembeli, sangat penting sekali pemanfaatan retorika secara baik. Penjual berusaha dengan sebaik mungkin agar orang terpengaruh dengan ucapannya dan penjelasannya tentang suatu produk atau barang dan membeli barang dagangan tersebut. Jika pembeli terpengaruh dengan ucapan si penjual telah berhasil beretorika pada saat itu.
            Jadi, apapun jenis tindak tutur, usaha benda dan lain sebagainya yang ditampilkan lewat media massa, selama hal-hal tersebut dimanfatakan mempengaruhi pihak lain, maka hal itu adalah fenomena retorika. Pendapat ini sesuai dengan pengertian retorika yang dikemukakan oleh retorikus yang bernama William C. Booth yang mengatakan bahwa setiap tindak (disadari atau tidak) yang menyebabkan orang lain terpengaruh pada dasarnya adalah fenomena retorik.

3.                  Retorika dalam Humor
            Humor bertujuan untuk menghibur para penonton, oleh arah, agar apa yang disampaikan atau pesan yang hendak disampaikan dapat dipahami oleh pendengar atau penonton. Misalnya acara Ria Jenaka, yang ditayangkan oleh TVRI setiap Minggu pagi. Acara ini menggunakan media retorika yang terencana dan diolah secara baik, agar acara ini dapat diminati oleh masyarakat. Sebagai contoh acara ini mengambil tema “Disiplin Nasional”, maka para pelakon dalam humor ini akan tampil sebaik mungkin dan menggunakan teknik bicara yang baik, pesan-pesan disampaikan dengan humor, sehingga penonton merasa terhibur dan pesan yang terkandung dalam humor itu akan menimbulkan kebosanan pada diri penonton atau pendengar.
            Di samping itu, karena fenomena adalah gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat, sedangkan budaya yaitu tindak-tanduk keseharian manusia. Jadi, fenomena retorika dalam budaya maksudnya segala gejala yang berhubungan dengan tindak masyarakat yang menyangkut retorika. Gejala-gejala itu dapat terlihat dalam bentuk lisan maupun tulisan. Untuk berbagai keperluan retorika diperlukan beberapa cara:
1)             Retorika Secara Spontan
Dalam kehidupan sehari-hari kita perhatikan ada seseorang yang sangat pandai bertutur. Tuturannya itu tidak direncanakan terlebih dahulu. Tapi lahir seketika untuk mengisi waktu luang. Kita sebagai pendengar tertarik mendengarkannya. Bahkan pembicaraannya itu diikuti dengan gerak dan mimic yang juga menarik.
          Contoh:
Sewaktu kita berada di kampus, kebetulan masih ada waktu beberapa menit menjelang dosen masuk. Secara spontan ada seseorang yang asyik bicara. Kita pun tertarik mendengarkannya. Topik pembicaraannya bermacam-macam mulai dari pengalaman terlambat bangun, sulit mendapat kendaraan karena sudah kesiangan, sampai ke film dan sebagainya. Kita terkenan dan tidak bosan dengan omongan orang itu.

2)             Retorika Secara Tradisional/Konfensional
Bentuk retorika secara tradisional adalah bentuk lama yang sudah digunakan dari masa ke masa.
          Contoh:
Kata-kata sanjungan terhadap kecantikan seorang gadis, hal ini dapat terlihat pada novel Pustaka. Gadis yang cantik hidungnya bak dasun tunggal, matanya bagai bintang timur, rambutnya bagai mayang terurai dan sebagainya.
Dongeng sebelum tidur, orang tua, kakek sedang berbicara tentang dongeng binatang, dongeng tentang anak durhaka. Kita tertarik karena pandainya orang tua kita menyusun kata dan menyampaikannya dengan ekspresi yang bagus, hingga membuat tertidur.
Kata-kata nasehat yang dihubungkan dengan kecelakaan, jangan duduk di depan pintu, nanti rezeki tertutup, jangan tidur tertelungkup, nanti ibumu cepat meninggal, jangan menjahit baju di badan, nanti selalu dililit hutang. Kata-kata atau petuah itu menarik sekali, karena penyampaiannya begitu mengikat, dan halus sehingga seseorang bisa berubah sikap.

3)             Retorika Secara Terencana
Dalam bertutur  ada orang yang secara spontan dapat menyampaikan maksudnya kepada orang lain, tanpa direncanakan terlebih dahulu. Tapi ada pula orang yang pandai menyampaikan maksudnya dengan direncanakan atau dipersiapkan terlebih dahulu. Orang ini biasanya kurang pandai bertutur yang menarik tanpa disiapkan.
          Contoh:
Seseorang yang akan berbicara di depan orang banyak, misalnya berpidato pada acara perpisahan, atau acara-acara resmi lainnya, tanpa dipersiapkan terlebih dahulu mustahil orang ini akan berhasil sebagai orator. Apaakh kalau orang ini belum mempunyai pengalaman sebelumnya.

C.                Retorika dan Ilmu Lain
Aristoteles menampilkan retorika sebagai suatu ilmu pada abad IV SM. Dikatakan bahwa mula-mula kehadiran retorika bertujuan untuk mempersuasi atau upaya untuk meyakinkan petutur akan kebenaran gagasan dari topic tutur yang dikemukakan. Ciri penanda sebuah ilmu dapat dilihat dari tujuan dan fungsinya. Tujuan ilmu adalah gambaran sesuatu yang dituju, sedangkan fungsi sebuah ilmu adalah memegang peranan dalam mencapai peranan itu.
            Tujuan dan fungsi retorika menopang kehadirannya sebagai suatu ilmu tersendiri. Di tinjau dari segi metode sebagai penanda kehadiran retorik tidak dapat disangkal lagi karena retorik tegas-tegas mengembangkan metode sendiri yang dapat memudahkan dan menemukan kebenaran dan meneruskan kebenaran itu di tengah-tengah masyarakat untuk membina kehidupan yang lebih baik.
            Walaupun retorik telah berdiri sebagai suatu ilmu yang terpisah dengan ilmu lain namun retorik tidak dapat menyangkal keterkaitannya dengan ilmu lain seperti ilmu social dan kemanusiaan. Retorik sebagai salah satu kegiatan yang fungsional dalam kehidupan manusia telah menjadi objek dalam penelitian dari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Dari berbagai ilmu yang menggarap kegiatan bertutur dan bahasa, ada di antaranya yang dekat sekali gejala dengan retorika yaitu logika, tata bahasa, sastra, dan filsafat, menurut Oka (dalam Arief, 2001: 38-41) diuraikan sebagai berikut, yaitu:
1.                  Retorika dengan Logika
Retorika sangat memerlukan kelogisan dan menyarankan agar penutur menggunakan kelogisan dan kejernihan akal dalam menata dan memilih bahasa, sedangkan logika yang berprinsip dan metode menuntut orang untuk mampu membedakan mana alasan yang benar dan mana alasan yang tidak benar. Antara retorika dan logika adalah dua ilmu yang sejajar dan saling mendukung karena retorika yang berpijak pada bertutur sangat memerlukan bantuan retorika dalam penuturan dirinya.

2.                  Retorika dengan Tata Bahasa
Dalam sejarah perkembangan bahasa dan studi tur muncul anggapan bahwa retorika adalah bagian tata bahasa karena saat itu tata bahasa dipandang sebagai perangkat kaidah yang mengajarkan bagaimana berbahasa yang baik. Sebuah tututr dikatakan baik apabila bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang digariskan oleh tata bahasa. Anggapan ini adalah anggapan orang-orang yang terlalu memuja tata bahasa. Hal ini membuat retorika kehilangan funsi dan posisi yang wajar.
            Retorika bukanlah bagian dari tata bahasa karena keduanya memiliki prinsip dan fungsi yang berbeda. Namun perbedaan itu bukan berarti tidak ada hubungan antara retorika dengan tata bahasa. Sebaiknya seorang penutur menguasai kaidah-kaidah bahasa untuk kemudian digunakan dalam berbicara yang disertakan dengan retorika yang bagus dan meyakinkan.
            Membuat hubungan yang harmonis antara tata bahasa dan retorika bukanlah perbuatan yang mudah, karena hal ini selalu menimbulkan problema yang besar bagi para guru-guru pada umumnya. Retorika sering menuntun hal-hal yang tidak sepadan dengan tata bahasa. Sebaiknya dalam mengajarkan tata bahasa diambil contoh dari kalimat-kalimat yang retoris. Sebaiknya dalam menyusun tutur yang retoris jangan sampai mengabaikan kaidah tata bahasa.

3.                  Retorika dengan Sastra
            Dulu antara retorika dan sastra merupakan ilmu yang padu. Maksudnya sastra merupakan bagian dari retorika karena pada saat itu retorika sangat mementingkan kaidah. Namun karena ilmu berkembang terus kajian keindahan sastra mulai makin tajam. Pada saat inilah mulai sastra memisahkan diri dari retorik tepatnya pada abad ke XX.
            Sastra dan retorika sama-sama mempersoalkan tentang penggunaan bahasa secara efektif dan efisien, tetapi keindahan bahasa sastra untuk menjelaskan makna dan menentukan keberhasilan sastrawan dalam membuat karya kreatif. Sebaiknya retorika bertujuan untuk menentukan keberhasilan retoris dalam mempengaruhi audien (pendengar)
            Selain dengan logika, ilmu bahasa dan tata bahasa, retorika juga berhubungan dengan ilmu-ilmu lain. Ilmu social dan kemanusiaan sebagai ilmu yang berbicara tentang manusia seperti filsafat, ilmu jiwa, Biologi, Sosiologi, Antropologi, Filologi, sangat membutuhkan retorik dalam pengembangan dan perluasannya pada masyarakat yang membutuhkan. Sebaliknya retorik sebagai ilmu bertutur sangat memerlukan ilmu-ilmu lain untuk memperkokoh kehadirannya sebagai suatu ilmu.

4.                  Retorika dengan Filsafat
            Retorika memerlukan ilmu lain diungkapkan pertama kali oleh Aritoteles pada abad ke IV SM. Dia mengatakan seorang penutur yang ingin sukses itu harus mengetahui dan memiliki pengetahuan umum yang luas, agar dapat memilih ulasan yang baik serta sehingga bisa menempatkannya pada posisi yang tepat. Aristoteles mengemukakan bahwa retorika tidak bisa lepas dari fulsafat karena ilmu ini mengajarkan kebenaran serta bimbingan orang bertindak dan mengambil keputusan berdasarkan kebenaran. Jadi, filsafat merupakan ilmu kebenaran yang memperkuat kehadiran retorika.
            Psikologi sangat banyak dikaji oleh retorika dalam memahami jiwa manusia dengan kaitannya dengan kegiatan bertuturnya, kalau kita lihat perkembangan retorika dari dulu hingga sekarang tampak bahwa retorika tidak henti-hentinya berorientasi pada penemuan psikologi ini. Manfaat penemuan psikologi ini terlihat pada perintis retorika baru yakni I.A Richards, Keneth Burke, dan mendukung aliran general semantik.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Ermawati. 2001. “Retorika (Seni Berbahasa Lisan dan Tulisan)”. Buku Ajar. Padang: FBSS UNP.
                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar